Haul ke-10 Guru Sekumpul Martapura: 26 April 2015
Guru Zaini Abdul Ghani atau yang akrab
disebut Guru Ijai atau Guru Sekumpul telah meninggal dan menjelang haul ke-10
pada Ahad, 26 April 2015. Di mata orang Kalimantan, Guru Ijai adalah guru dan
abah urang Banjar masa kini.
Beberapa hari sebelum haul ke-10
Almaghfurlah KHM Zaini Abdul Ghani atau yang dikenal dengan panggilan akrab
Guru Ijai atau Guru Sekumpul diperingati, sudah puluhan sapi dan kambing
disetor oleh kaum Muslimin di Komplek Ar-Raudhah Desa Sekumpul Martapura,
Kalimantan Selatan. Sementara koran serta berbagai majelis pengajian
mengumumkan akan diselenggarakan haul ke Guru Ijai pada hari Ahad, 26 April
2015.
Benar yang diperkirakan pada hari yang
ditentukan itu, puluhan ribu jamaah yang datang dari Kalimantan Selatan maupun
dari luar Kalimantan Selatan membanjiri Komplek Ar-Raudhah di mana di tempat
itu ada Qubah Makam Guru Ijai berada. Mereka hadir untuk mengenang ulama besar
Kalimantan Selatan setelah 200 tahun meninggalnya Syaikh Muhammad Arsyad
Al-Banjari (Datuk Kalampian). Sekaligus mereka mendoakan “Guru Urang Banjar
Masa Kini” ini semoga mendapatkan tempat yang bahagia di dalam kubur maupun di
akhirat kelak.
Berdoa di samping kuburan Guru Sekumpul. |
Disebut guru urang Banjar, sebab Guru
Ijai tidak sekadar ulama yang menyebarkan ilmu agamanya, tetapi sekaligus guru
rakyat Kalimantan Selatan. Dia bersedekah dan membantu berbagai keperluan di
masyarakat, seperti pembangunan bangunan induk dua lantai PP Darussalam. Begitu
juga, kepindahannya ke Sekumpul dan berhasil membuka daerah baru merupakan
jasanya yang patut diakui semua orang. Sebutan untuk dirinya bisa menandakan
hal itu.
Nama aslinya Zaini Abdul Ghani, kemudian
Guru Zaini dalam lidah Banjar menjadi Guru Ijai. Setelah ke Sekumpul dan
diterima semua pihak namanya juga disapa Guru Sekumpul. Menjalang akhir
hidupnya, masyarakat banyak yang memanggilnya Abah Guru, sebab dia diakui sebagai Bapak semua golongan.
Ketika wafatnya, para petakziah menyerunya: “Abah! Abah!” Karena dia juga
menjadi Abah Urang Banjar.
Para jamaah haul dan peziarah yang hadir
dengan penuh kecintaan itu ingat atau diingatkan bahwa KHM Zaini Abdul Ghani
sebelum hari wafatnya, 5 Rajab 1426 H atau 10 Agustus 2005, pernah berpesan
kepada jamaah: Pertama, jangan bakhil karena sifat bakhil adalah sifat tercela
yang paling bandel dan tidak akan keluar sebelum sifat-sifat tercela lainnya.
Dia sering mengucapkan sebuah tulisan yang ada di pintu surga: “Anti haramun
‘ala kulli bakhilin”, maksudnya pintu surga dilarang atau diharamkan bagi orang
bakhil. Kedua, jangan tertipu dengan karamah, karena karamah adalah anugerah
dan pemberian Allah SWT kepada hamba-Nya bukan karena suatu kepandaian atau
keahlian. Karena itu, janganlah terlinta atau berniat untuk mendapatkan karamah
dengan melakukan ibadah atau membaca wirid. Karamah yang mulia adalah istiqamah
dalam ibadah. Ketiga, Kaji-gawi, maksudnya tututlah ilmu kemudian amalkan.
Hadirin pada Haul ke-9 Guru Sekumpul. |
HM Irsyad Zein, yang dikenal orang “ring
satu” Guru Ijai ini menuliskan pesan-pedan itu dalam buku kenangan berjudul
“Al’Alamul ‘Allamah Al’Arif Billah Asy-Syekh HM Zaini Abdul Ghani” (2006).
Sementara Ahmad Mursyidi yang berasal dari Kampung Melayu Martapura
mengumpulkan kliping pemberitaan surat kabar di Kalimatan Selatan ketika wafatnya
Guru Ijai pada 10 Agustus 2005. Kliping yang diberi judul “Mengenal dan
Mengenang Riwayat Hidup Sebelum Wafatnya ….. Seorang Ulama yang Masyhur dari
Negeri Banjar” (2005) ini menjadi rujukan dalam penulisan manakib Guru Ijai.
Memiliki Keistimewaan
Guru Ijai dilahirkan di malam Rabu 27
Muharam 1361 atau 11 Februari 1942 di
Kampung Tunggul Irang Seberang
Martapura. Kampung Tunggul Irang memang dikenal banyak melahirkan ulama,
seperti KH Husin Qadri, KH Badruddin, KH Muhammad Rasyad, dan KH Husin Mughni.
Nama kecilnya Qusyairi dan memiliki keistimewaan, yaitu semasa remaja tidak
pernah ihtilam (mimpi basah).
Sejak kecil, dia berada di samping kedua
orang tuanya, H Abdul Ghani dan Hj Masliah binti Haji Mulya, serta neneknya
yang bernama Salbiyah. Ketiga orang itulah yang menjadi guru pertama masa
pendidikan keagamaannya. Dalam usia tujuh tahun pada 1949, dia bersekolah di
madrasah kampung Kraton Martapura selama dua tahun, kemudian meneruskan ke
madrasah Darussalam Martapura sampai tamat.
Pondok Pesantren Darussalam Martapura. |
Tidak cukup belajar di kampung saja,
selanjutnya dia berangkat ke PP Datu Kelampayan Bangil Jawa Timur. Di sini, dia
berguru langsung dengan pimpinan pondok yang juga berasal dari Martapura, KH
Syarwani Abdan, baik secara klasikal maupun privat dalam beberapa tahun.
Setelah belajar di Bangil, dia pulang ke Martapura dan langsung diangkat
menjadi guru di alma maternya, PP Darussalam selama 5 tahun.
Kemudian Guru Ijai membuka pengajian di
rumahnya sendiri di Jalan Makam Kampung Keraton pada tahun 1970. Dalam
pengajian itu, dia didampingi KH Muhammad Salman, yang dulu dikenal dengan Guru
Salman Bujang, lalu berikutnya dikenal
lagi dengan sebutan Guru Salman Mulya. Pengajian dimulai pada petang hari Kamis
dan dilanjutkan hingga malam harinya (malam Jum’at). Pernah Guru Ijai pindah
dan membuka perkampungan baru di Dalampagar, dan mengembangkan pendidikan agama
di Dalampagar. Setelah ramai, pada tahun 1988 dia pindah ke Kampung Sekumpul
membuka kompleks perumahan yang dikenal dengan Kompleks Ar-Raudhah atau Dalam
Regol, selanjutnya berkembang menjadi Gang Taufiq dan Gang Mahabbah dan
lainnya.
Di Sekumpul inilah, Guru Ijai mengajar,
mendidik para anak murid atau jamaah dalam meningkatkan iman, ilmu, dan amal
serta takwa kepada Allah SWT. Kompleks dilengkapi dengan Mushalla dan berbagai
perlengkapan untuk ibadah. Di sini kata “kaji dan gawi” (Belajar dan Amalkan)
sangat jelas kelihatan dalam proses belajar dan mengajar yang dilaksanakan.
Habib Salim Asy-Syathiri dengan dua anak Guru Sekumpul. |
Guru Ijai pernah berguru kepada berbagai
guru, pada waktu kecil dia belajar membaca Al-Qur’an kepada Guru Hasan di
kampung Keraton. Orang tuanya selalu membekali sebotol minyak tanah untuk
diberikan kepada guru pertamanya itu. Sedang guru-gurunya di PP Darussalam,
antara lain Tuan Guru Muhammad Sya’rani Arif (dalam ilmu hadits dan ilmu
tajwid), Guru Husin Qadri, Guru Salim Ma’ruf, Guru Saman Mulya (pamannya), Guru
Salman Jalil. Sedang setelah berguru kepada KH Syarwani Abdan, dia diantar Guru
Bangil kepada Kiai Falak (Bogor) untuk memperdalam ilmu agama. Seterusnya Kiai
Falak menyerahkan kepada Syaikh Sayyid Muhammad Amin Kutby. Dalam bidang
tasawuf, Guru Ijai juga berguru kepada Guru Muhammad (Gadung).
Guru Ijai memiliki wajah yang tampan dan
suara yang indah, santun kepada
siapapun, sehingga banyak menarik perhatian pendengarnya. Pada tahun 1961, dia
dikenal sudah mempopulerkan Maulid Simthud Durar atau apa yang dikenal di
Banjar dengan nama Maulid Habsyi. Dia sempat mendapatkan ijazah Maulid Simthud
Durar dari Habib Anis bin Alwi bin Ali Alhabsyi di Solo. Keduanya saling
bersahabat erat dan saling mengunjungi ke kediaman masing-masing.
Dalam membina rumah tangga, Guru Ijai
sempat menikah tiga kali. Pertama dengan Hj Juwariyah, tetapi tidak diberikan
keturunan. Kemudian menikah lagi dengan Hajjah Laila dan melahirkan dua anak
lelaki, yaitu Muhammad Amin Badali Al-Banjari dan Ahmad Hafi Badali Al-Banjari.
Dan terakhir menikah lagi dengan Hj Siti Noor Jannah, tetapi tidak dikarunia
anak. Dua putra Guru Ijai diharapkan akan meneruskan jejak Abahnya. Keduanya
sangat mencintai ulama dan para habib, termasuk ketika Habib Syalim
Asy-Syathiri, pengasuh Rubath Tarim Hadhramaut, datang ke Martapura.
Sedang dalam karya tulis, Guru Ijai
berhasil menulis empat kitab. Yaitu (1) Risalah Mubarakah, (2) Manaqib
Asy-Syaikh As-Sayyid Muhammad bin Abdul
Kari Al-Qadiri Al-Hasani As-Samman Al-Madani, (3) Ar-Rasalatun Nuraniyah fi
Syarhit Tawassulatis Sammaniyah, (4) Nubdzatun fi Manaqibil Imamil Masyhur
bil-Ustadzil A’Zham Muhammad bin Ali Ba’Aalawy.
Muhammad Amin Badali dan Ahmad Hifi Badali. |
Anugerah Allah
Dalam usia lebih kurang sepuluh tahun,
Guru Ijai sudah mendapat khususat dan anugerah dari Tuhan berupa Kasyaf Hissi,
yaitu melihat dan mendengar apa yang di dalam atau yang tersembunyi. Guru Ijai
adalah seorang ulama yang menghimpun antara syari’at, tarikat, dan hakikat, dan
seorang yang hafal Al-Quran dan tafsirnya. Yaitu Tafsir Al-Quran al-Azhiem Lil
Imamaini al-Jalilaini atau Tafsir Jalalain.
Pada waktu pelaksanaan haul Syeikh
Muhamma Arsyad Al-Banjari yang ke-189 di Dalampagar Martapura kebetulan pada
masa itu musim hujan, sehingga membanjiri jalanan yang akan dilalui Guru Ijai
menuju ke tempat pelaksanaan haul tersebut. Hal ini sempat mencemaskan Panitia
Pelaksana Haul, dan langsung melaporkan kepadanya dan mohon doa semoga air
segera surut. Namun apa yang terjadi? Meski sehari sebelum pelaksanaan haul,
jalanan tersebut masih digenangi air hingga pada malam harinya, maka tanpa
dinyana keesokan harinya tepat pada hari pelaksanaan haul tersebut sejak pagi
harinya jalanan yang tadinya digenangi air menjadi kering semuanya, sehingga
dengan mudah dia dan rombongan melewati jalanan tersebut. Setelah acara usai,
keesok harinya jalanan tersebut kembali digenangi air hingga beberapa hari
lamanya.
Guru Seman Mulia dan Guru Sekumpul. |
Guru Ijai adalah seorang ulama keturunan
Syeikh Muhammad Arsyad yang menghidupkan kembali amalan-malan serta tharikat
yang diamalkan Syeikh Arsyad. Nama lengkapnya KH Muhammad Zaini Ghani bin Abdul
Ghani bi H Abdul Manaf bin Muhammad Khalid bin Khalifah H Hasanuddin bin Syaikh
Muhammad Arsyad Al-Banjari.
Sedang dalam majelis taklim maupun majelis ilmiyahnya, dia
mengikuti majelis Syaikh Abdul Qadir Jailani. Tamu-tamu yang datang ke rumahnya
pada umumnya selalu dia berikan jamuan makan dan minum serta nasihat yang
berguna. Pada hari-hari pengajian sekalipun tidak diundang, murid-murid yang
mengikuti pengajiannya tidak kurang dari puluhan ribu orang yang datang dari
berbagai penjuru daerah di Kalimatan Selatan dan dari daerah lainnya. Hari
pengajian Kamis sore sampai malam Jumat dan hari Ahad sore sampai malam Senin,
sedang pada hari Sabtu pagi khusus disediakan untuk ibu-ibu muslimat.
Guru Ijai adalah satu-satunya ulama di
Kalimantan, bahkan di Indonesia, yang mendapat izin untuk mengijazahkan tarikat
“As-Samaniyah”, karena itu banyak orang yang datang kepadanya untuk berbai’at
tharikat, bukan saja dari Kalimatan bahkan dari dari luar Kalimatan, bahkan
dari luar negeri, seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.
Saiful Bahri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar